Berikut ini beberapa hal yang berkaitan dengan masalah tasawwuf, maulid, talqin mayyit, ziarah dan lain-lain yang terdapat dalam kitab-kitab para ulama pendahulu wahabi. Ironisnya, sikap mereka sekarang justru bertolak belakang dengan pendapat ulama mereka sendiri.
Pertama, tentang tasawuf. Dalam kumpulan jilid 10 hal 507 Syekh Ibnu Taimiyah berkata, “Para imam sufi dan para syekh yang dulu dikenal luas, seperti Imam Juneid bin Muhammad beserta pengikutnya, Syekh Abdul Qadir al-Jailani serta lainnya, adalah orang-orang yang paling teguh dalam melaksaankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Syekh Abdul Qadir al-Jailani, kalam-kalamnya secara keseluruhan berisi anjuran untuk mengikuti ajaran syariat dan menjauhi larangan serta bersabar menerima taqdir Allah.”
Dalam “Madarijus salikin” hal. 307 jilid 2 Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Agama secara menyeluruh adalah akhlak, barang siapa melebihi dirimu dalam akhlak, berarti ia melebihi dirimu dalam agama. Demikian pula tasawuf, Imam al Kattani berkata, “Tasawwuf adalah akhlak, barangsiapa melebihi dirimu dalam akhlak berarti ia melebihi dirimu dalam tasawwuf.”
Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam kitab, “Fatawa wa Rosail hal. 31 masalah kelima. “Ketahuilah mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepadamu. Sesungguhnya Allah SWT mengutus Nabi Muhammad dengan petunjuk berupa ilmu yang bermanfaat dan agama yang benar berupa amal shaleh. Jika orang yang dinisbatkan apada agama, sebagian dari mereka ada yang menfokuskan diri pada ilmu dan fiqih dan sebagian lainnya menfokuskan diri pada ibadah dan mengharap akhirat seperti orang-orang sufi. Maka sebanarnya Allah telah mengutus Nabi-Nya dengan agama yang meliputi dua kategori ini. (Fiqh dan tasawwuf)”. Demikianlah penegasan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa ajaran tasawuf bersumber dari Nabi SAW.
Kedua, mengenai pembacaan maulid. Dalam kitab “Iqtidha’ Sirathil Mustaqim” Ibnu Taimiyah berkata, ”Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutinan, segolongan orang terkadang melakukannya. Mereka mendapat pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya terhadap Rasulullah. SAW.
Ketiga, tentang hadiah pahala, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa barangsiapa mengingkari sampainya amalan orang hidup pada orang yang meninggal maka ia termasuk ahi bid’ah.
Dalam Majmu’ fatawa juz 24 hal.306 ia menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama islam dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah dan ijma’ (konsensus ulama’). Barang siapa menentang hal tersebut maka ia termasuk ahli bid’ah”.
Lebih lanjut pada juz 24 hal 366 Ibnu Taimiyah menafsirkan firman Allah “dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS an-Najm [53]: 39) ia menjelaskan, Allah tidak menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mendapat manfaat dari orang lain, Namun Allah berfirman, seseorang hanya berhak atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan hasil usaha orang lain adaklah hak orang lain. Namum demikian ia bisa memiliki harta orang lain apabila dihadiahkan kepadanya. Begitupula pahala, apabila dihadiahkan kepada si mayyit maka ia berhak menerimanya seperti dalam solat jenazah dan doa di kukbur. Dengan demikian si mayit berhak atas pahala yang dihadiahkan oleh kaum muslimin, baik kerabat maupun orang lain”
Dalam kitab Ar-ruh hal 153-186 Ibnul Qayyim membenarkan sampainya pahala kepada orang yang telah meninggal. Bahkan tak tangung-tanggung Ibnul Qayyim menerangkan secara panjang lebar sebanyak 33 halaman tentang hal tersebut. Untuk ringkasannya bisa Anda lihat dalam tulisan PAHAM WAHHABI.
Keempat, masalah talqin. Dalam kumpulan fatwanya juz 24 halaman 299 Ibnu Taimiyah menyatakan sebagian sahabat Nabi SAW melaksanakan talqin mayit, seperti Abu Unmamah Albahili, Watsilah bin al-Asqa’ dan lainnya. Sebagian pengikut imam Ahmad menghukuminya sunnah. Yang benar, talqin hukumnya boleh dan bukan merupakan sunnah. (Ibnu Taimiyah tidak menyebutnya bid’ah)
Dalam kitab AhkamTamannil Maut Muhammad bin Abdul Wahhab juga meriwayatkan hadis tentang talqin dari Imam Thabrani dalam kitab Al Kabir dari Abu Umamah
Kelima, tentang ziarah ke makam Nabi SAW. Dalam qasidah Nuniyyah (bait ke 4058) Ibnul Qayyim menyatakan bahwa ziarah ke makanm Nabi SAW adalah salah satu ibadah yang paling utama, tulisnya “Diantara amalan yang paling utama adalah ziarah ini. Kelak menghasilkan pahala melimpah di timbangan amal pada hari kiamat”. Sebelumnya ia mengajarkan tata cara ziarah (bait ke 4046-4057). Diantaranya, peziarah hendaklah memulai dengan sholat dua rakaat di masjid Nabawi. Lalu memasuki makam dengan sikap penuh hormat dan ta’zhiim, tertunduk diliputi kewibawaan sang Nabi. Bahkan ia menggambarkan pengagungan tersebut dengan kalimat “Kita menuju makam Nabi SAW yang mulia sekalipun harus berjalan dengan kelopak mata” (bait 4048).
Hal ini sangat kontradiksi dengan pemandangan sekarang. Suasana khusyu’ dan khidmat di makam Nabi SAW kini berubah menjadi seram. Orang-orang bayaran wahhabi dengan congkaknya membelakangi makam Nabi yang mulia. Mata mereka memelototi peziarah dan membentak-bentak mereka yang sedang bertawassul kepada beliau SAW dengan tuduhan syirik dan bid’ah. Tidakkah mereka menghormati jasad makhluk termulia di semesta ini..? Tidakkah mereka ingat firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. “Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al Hujarat, 49: 2-3)
Data-data di atas adalah sekelumit dari hasil penelitian obyektif pada kitab-kitab mereka sendiri, sekedar wacana bagi siapa saja yang ingin menari keenaran. Mudah mudahan dengan mengetahui tulisan-tulisan pendahulunya, mereka lebih bersikap arif dan tidak arogan dalam menilai kelompok lain.
(Diambil dari rubrik Ibrah, Majalah Dakwah Cahaya Nabawiy Edisi 60 Th. IV Rabi’ul awwal 1429 H / April 2008 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan isi komentar anda........